Culture Shock saat ke Mekkah dan Madinah

Kamis, 29 April 2021


Seperti apa yang sering saya ceritakan di blog ini, salah satu hobi saya adalah traveling. Setiap kali ingin traveling, saya selalu minta ijin orang tua padahal saya tinggal jauh dari mereka alias merantau. Sebenarnya minta ijin ke mama aja sih, karena mama orangnya khawatiran sementara papa orangnya selow.

Proses minta ijin ke mama adalah hal yang mendebarkan, karena harus siap dengan jawaban yang bisa meluluhkan pertanyaan yang menjurus pada kekhawatiran. Ditambah lagi dengan ceramah "Kamu jalan-jalan mulu, sebaiknya uangnya dipakai untuk umrah".

Sebagai umat islam, pasti ada niat untuk melaksanakan umrah dan haji, namun saat itu saya merasa belum pantas untuk melaksanakan ibadah umrah. Merasa belum alim, belum syar'i, shalat belum tepat waktu dan ibadah sunahnya masih kurang.

Lalu sampailah akhirnya mama tidak sekedar menceramahi namun benar-benar mengajak umrah. Mungkin saat itu saya mendapatkan hidayah sehingga tergerak untuk ikut. Pola pikir saya mulai berubah, bahwa umrah itu adalah ibadah untuk semua umat muslim sama seperti shalat. Tidak harus menunggu pantas baru beribadah, tapi beribadahlah supaya keimanan bertambah. 

Alhamdulillah, pada April 2019 saya dan kedua orang tua menunaikan ibadah umrah selama 2 minggu. Sebagai umrah perdana tentu banyak hal baru dan berkesan bagi saya. Oleh karena itu pada postingan kali ini saya ingin bercerita tentang culture shock saat pertama kali mengunjungi kota Madinah dan Mekkah dan beribadah di Masjidil haram dan Masjid Nabawi.

Culture Shock saat ke Mekkah dan Madinah :

1. Penggunaan mic dan speaker masjid

Mic/speaker di masjidil haram dan masjid nabawi hanya digunakan untuk mengumandangkan azan dan bacaan shalat fardu, yang berarti hanya dipakai 5x dalam sehari. Saya sungguh takjub mengetahui hal ini, berarti mesjid sangat dimuliakan dan funsinya benar-benar sebagai tempat ibadah. Pengurus masjid tidak pernah menggunakan mic/speaker masjid untuk memutarkan bacaan surat lainnya, lagu islami apalagi menyampaikan pengumuman.

Coba bayangkan masjid seluas itu, ada ratusan ribu manusia dari berbagai belahan dunia. Pasti ada kasus kehilangan orang atau kehilangan barang. Tapi hal yang seperti tidak pernah diumumkan menggunakan mic/speaker masjid.

Sekarang saya paham, dulu pernah heboh ada wacana pemerintah untuk menertibkan penggunaan speaker masjid, karena ada yang digunakan untuk memutar bacaan al-qur'an sangat keras dan berlarut-larut. Dan yang pernah saya rasakan, speaker masjid digunakan untuk memutar lagu islami. Mungkin niat awalnya baik, tapi prakteknya sudah menganggu ketenangan warga.

Area luar masjidil Haram

2. Imam membaca ayat-ayat pendek saat shalat

Ini benar-benar diluar dugaan, ternyata imam di masjidil Haram dan masjid Nabawi hanya membaca ayat-ayat pendek saat shalat. Dulu saya kira imam di Mekkah membaca ayat panjang seperti surat al baqarah atau setidaknya surat ar rahman. Jujur, pemikiran seperti ini sempat membuat saya takut umrah. Takut imam membaca ayat yang panjang, sehingga tidak khusyuk shalat karena lama berdiri. (mental bocah banget). Oh iya, katanya ayat yang panjang dibaca saat shalat tarawih.
 
3. Mukena bukan satu-satunya pakaian ibadah untuk muslimah

Selama ini kaum wanita pasti menganggap shalat harus memakai mukena. Ternyata mayoritas yang menggunakan mukena di sana adalah jamaah dari Indonesia dan Malaysia. Sementara orang arab shalat dengan menggunakan abaya, gamis atau dress longgar. Kebanyakan menggunakan abaya hitam, sementara hijabnya ada yang panjang dan ada juga yang pendek.

Kalau menurut saya, konsep seperti itu benar juga. Dalam islam wanita diwajibkan menutup aurat apalagi saat beribadah. Kalau misalnya baju yang digunakan sudah berwarna gelap, longgar dan sudah tidak membentuk tubuh, berarti tidak masalah jika mengenakan hijab yang pendek (tidak sampai ke perut). Yang penting benar-benar menutup kepala dan leher. Jujur, kadang ada baju syar'i jaman sekarang, hijabnya memang panjang hingga tangan tapi malah membentuk sekali di bagian dada.

Area luar masjid Nabawi

4. Ibadah bukan alasan untuk melanggar peraturan

Ini cukup membuat tercengang tapi menurut saya ini perlu dicontoh oleh orang Indonesia. Waktu itu saya dan mama agak telat berangkat ke masjid, padahal saya mengincar shalat di area depan Ka'bah. Akhirnya kami kebagian sholat di area sebelum Ka'bah yang mana jika bukan di jam shalat, tempat ini bisa dibilang jalan. 

Karena waktu shalat sudah dekat, para jemaah secara otomatis membuat shaf di area tersebut. Para pengurus masjid juga tanggap membuat batasan sementara antara tempat untuk shalat dan area untuk jalan karena memang masih banyak orang yang lalu lalang. Saat itu posisi saya dekat garis batas dan saya melihat ada orang yang shalat sunat di luar garis sehingga bisa menutupi jalan. Sang pengurus datang, tanpa basa basi langsung menarik jamaah yang sedang shalat dan menyuruhnya untuk shalat di tempat kosong yang bukan area jalan.

Saya cukup kaget, di mana selama ini belajar bahwa kita tak boleh mengganggu atau menghentikan orang shalat. Tapi kalau dipikir lebih jauh, pengurus masjid itu tidak salah karena tugas dia adalah mengatur kondisi di dalam masjid. Jika dia membiarkan satu orang maka dua hingga puluhan orang akan menirunya. Jika jalan tertutup maka akan semakin banyak jamaah yang tidak kebagian tempat shalat. Kesimpulannya kita tidak bisa melanggar peraturan masjid begitu saja walaupun alasannya shalat.


5. Tidak ada kotak amal/kotak sumbangan di masjid

Kotak amal adalah benda yang selalu kita lihat di mushalla ataupun masjid di Indonesia. Kegunaannya berbeda tergantung dari nama yang tertera pada kotak, bisa untuk infak, sedekah, wakaf ataupun uang kebersihan. Nah, ketika saya ke Mekkah dan Madinah, dari pintu gerbang hingga di dalam masjid benar-benar tidak ada kotak amal sama sekali. Katanya itu adalah instruksi dari Raja Saudi Arabia untuk tidak meletakkan kotak amal di area masjid. Mungkin ada alasan bijak dari peraturan ini. 

Jika tidak ada kotak amal tentu akan ada pertanyaan bagaimana kalau ada jamaah yang ingin bersedekah? Bersedekah tentu menjadi salah satu keinginan umat muslim untuk memperbanyak pahala di 2 kota suci. Jawabannya, masih ada cara lain seperti bersedekah langsung kepada orang yang bekerja di area masjid misalnya OB. Selain itu juga bisa bersedekah al qur'an untuk di dalam masjid (note : al qur'an harus sesuai standar masjid). Selain itu, saya juga sering melihat orang yang memberikan kurma atau makanan gratis di sebelum pintu masuk masjid.

Kondisi di dalam masjid Nabawi - Area Perempuan, tidak ada kotak sumbangan sama sekali

6. Hotel yang Indonesian friendly

Sebagai orang yang suka jalan-jalan, saya termasuk wisatawan yang ingin mencoba makanan khas tempat yang dikunjungi. Saat umrah, ternyata hotel tempat saya menginap menyediakan menu makanan yang sangat Indonesia seperti rendang, ikan goreng, tempe hingga tumis kangkung. Cuma berasnya saja yang sedikit berbeda. 

Makan siang di hotel di Madinah

Jujur saya agak kecewa, padahal sudah membayangkan masakan arab seperti nasi mandi, shawarma, samosa dll. Mungkin karena jamaah Indonesia banyak yang melaksanakan umrah dan haji, jadi muncullah hotel-hotel yang Indonesian friendly. Terlebih mayoritas jamaah adalah orang tua yang lidahnya agak susah menerima jenis makanan baru.

7. Penjual oleh-oleh sekitar masjid/hotel bisa berbahasa Indonesia

Berbelanja di sana sangat mudah karena mayoritas penjual bisa berbahasa Indonesia khususnya bahasa jual beli. Malahan mereka lebih mengerti bahasa Indonesia dari pada bahasa Inggris. Sehingga para ibu-ibu bisa leluasa berbelanja tanpa terkendala bahasa layaknya di pasar Indonesia. Makanya jangan heran kalau orang tua atau nenek dan kakek bisa bawa oleh-oleh yang banyak saat pulang dari umrah atau haji.

Selain itu, penjual di sana ada yang menerima transaksi dengan rupiah, namun hanya lembaran 50,000 dan 100,000. Tapi belanjanya harus pas, karena tidak akan diberikan kembalian. Saya ingat waktu itu mereka mematok 100,000 rupiah sama dengan 25 riyal.


Gambar di atas adalah bangunan yang ada di sekitar masjid Nabawi. Bagian bawah adalah toko, dan bagian atas adalah hotel.

-------
Sekian garis besar shock culture saya saat pertama kali umrah / pertama kali ke kota Mekkah dan Madinah. 

Menulis kenangan saat umrah ini membuat saya jadi rindu masjidil Haram dan masjid Nabawi lagi. Semoga corona segera berakhir sehingga umat muslim bisa menunaikan ibadah umrah dan haji lagi. Aamiin.

Note : Maaf kualitas fotonya kurang bagus, karena saya tidak membawa kamera saat umrah. jadi hanya mengandalkan kamera HP.


---

10 komentar:

  1. Mengaminkan doa di paragraf penutup. Pingin ke sana juga, semoga bisa kesampaian. Makasih mba Dila tulisan dan foto-fotonya makin bikin mupeng wkwkwk.

    Baca tentang speaker masjid, aku langsung keinget sama kata orang-orang kalau terkadang orang sini lebih Arab daripada orang Arab sendiri. xD Terus petugasnya bagus tuh sangat tegas terhadap setiap pelanggaran yang ada, good job. Nah sama nih kayak mba Dila, aku juga pinginnya kalau ada di suatu negara, pingin makan makanan khas sana bukan malah makanan tanah air. xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo selagi muda, sebaiknya umrah. Karena umrah itu cukup menguras tenaga, sering jalan. Salut sama nenek2 dan kakek2 yang kuat melaksanakan umrah.

      Iya kan, dulu tu mau ngeluh tapi takut dosa dan ternyata di arab sendiri, speaker masjid nggak digunain sembarangan.

      Masalah makanan, sama kita. Apalagi di arab kan pasti halal. Jadi pengen coba kan. klo ke negara lain harus baca ingredient dulu.

      Hapus
  2. Aminnn Ya Rabb..

    Duh, baca ini terutama poin 1 rasanya aku pengen juga bisa mengeluarkan unek2 di kepala langsung ke pihak Masjidnya. Terutama yg dekat rumah. Yah, gimana yah. Itu speaker udah aktif dari Jam Set.4 pagi.. suaranya nyaring banget. Yg diputar pun berulang2 itu mulu.. haha 😄 Astagfirullah.

    Btw, aku baca ini kaget banget dan terimakasih Mba Dilla udh share.. yah lumayan buat persiapan pas dpet kesempatan buat kesana.. hehe 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya kan Bayu, emang banyak masjid/mushalla di Indonesia yang di luar batas. Apalagi kalau Ramadhan, kan enggak semua orang sahur di jam setengah 4, ada yang jam 4. atau malahan udha sahur di jam 2. Emang kita enggak salah kalau ngeluh, patokannya udah jelas 2 masjid di atas.

      Alhamdulillah, tulisan saya bisa nambah wawasan. Aamiin, selagi corona nabung aja dulu.

      Hapus
  3. MasyaaAllah, kangen ke Haramain dengan suasana bebas seperti ini. Hiks hiks.

    Iya bener banget, nyari2 kotak amal di masjid ngga ada kalau di Saudi mba, hahahaha. MasyaaAllah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya mba, sekarang kalau lihat video situasi di Ka'bah, orangnya sedikit karena shaf juga harus renggang.

      Iya, mungkin kalau ada kotak amal, uangnya dari berbagai negara. Trus nanti bingung ngitungnya. Belum lagi harus ditukarkan dulu.

      Hapus
  4. semoga bisa segera ke sana aamiin :D. Makasih sharing pengalamannya mba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, makasih juga udah mampir di blog saya mba ^^

      Hapus
  5. Wah semoga saya bakal ikut merasakan juga. Soal mukena kebetulan sudah tahu. Cuma di Indonesia yang begitu. Setelah pakai syar'i malah enak mba, jalan2 kalau mau shalat ngga usah bawa mukena asal pakaian bersih dan berkaus kaki/kaki tertutup

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga segera bisa ke Mekkah yah mba.
      Iya, kalau udah pakaian syar'i sebenarnya udah bisa langsung shalat. Tinggal bawa sajadah aja tuk situasi pandemi ini.

      Hapus